Sultan Muhammad Syah
Sultan Muhammad Syah atau juga dikenal sebagai Sultan Alauddin Muhammad Da'ud Syah I (1802 - 1838) adalah sultan ketiga puluh satu kesultanan Aceh. Dia adalah penguasa keenam dari dinasti Bugis memimpin kesultanan Aceh, ia memerintah antara tahun 1823-1838.
Pengakuan dan konsolidasi Aceh
[sunting | sunting sumber]Sultan tua Alauddin Jauhar ul-Alam Syah telah memimpin pemerintahan bergolak dan tidak diakui di seluruh Aceh pada saat kematiannya pada bulan Desember 1823. Saking lemahnya ia bahkan tidak mampu mengontrol ibu kota Bandar Aceh. Pada saat kematiannya ia meninggalkan enam anak, dua orang lahir permaisuri utama Puteri Siharibulan dan empat lainnya dari isterinya yang lain. Sebenarnya dalam wasiat (sarakata) sebelum kematiannya ia telah menunjuk seorang putera yang bernama Abdul Muhammad sebagai pengganti. Namun titah ini tidak diterima oleh Panglima Polem yang memimpin daerah XXII Mukim, salah satu dari tiga wilayah sagi utama Aceh.[1] Sebaliknya seorang puteranya yang lain berusia 22 tahun dan terlahir dari isteri kedua Alauddin Jauhar al-Alam bernama Tuanku Daud diangkat menjadi sultan dan keputusan ini didukung oleh neneknya Pocut Meurah Awan. Muhammad Daud memimpin takhta dengan gelar Sultan Alauddin Muhammad Daud Syah. Saudara kandungnya Tuanku Ibrahim ditunjuk sebagai Raja Muda, menduduki sebuah jabatan di mahkamah kesultanan sampai tahun 1870. Puteri Siharibulan yang menolak keputusan itu melakukan perlawanan, ia mengajukan permohonan kepada Inggris di Penang untuk melakukan intervensi. Tindakan perlawanan Siharibulan kini mengancam munculnya perang saudara di Aceh. Namun pada saat yang sama Inggris tidak tertarik terlibat dalam politik Aceh. Puteri Siharibulan dan anak trinya Alauddin Muhammad Daud Syah akhirnya berdamai melalui mediasi dari Raja Muda. Sultan baru secara bertahap menerima pengakuan dari para panglima sagi (para kepala daerah), bangsawan, dan uleebalang yang sebelumnya menolak mengakuinya.[2]
Traktat London
[sunting | sunting sumber]Keengganan Inggris mencampuri urusan internal Aceh tidak terlepas dari mentaati butir-butir Traktat London antara Belanda dan Britania. Hal ini berkaitan dengan keseimbangan kekuasaan di Eropa, dimana Inggris tidak ingin berseteru dengan Belanda yang mulai menancapkan pengaruh dan kekuasaan kolonialnya di Sumatra. Disamping itu juga Inggris dan Belanda berkehendak adanya jaminan keamanan bagi pelayaran kapal-kapal dagang Eropa di perairan Selat Malaka yang selama ini dikuasai bersama oleh Inggris, Belanda bersama kesultanan-kesultanan lain yang merdeka di wilayah maritim utama itu. Perjanjian itu telah mengikat Inggris untuk mengakui kekuasaan Belanda atas beberapa bagian Sumatra sebaliknya Belanda mengakui kedaulatan Inggris di Semenanjung Malaya dan Kalimantan, lalu keduanya juga mengakui kekuasaan Aceh yang merdeka di ujung utara pulau Sumatra. Meski sebenarnya pihak resmi Aceh tidak dilibatkan dalam perjanjian ini, tetapi isi perjanjian telah menjamin kemerdekaan Aceh hingga tahun 1870.[3]
Konflik dan insiden dengan Belanda
[sunting | sunting sumber]Tahun-tahun berikutnya ditandai oleh sejumlah insiden kekerasan antara Aceh dan negara kolonial tetangganya yang berkedudukan di Batava. Ketika Belanda melancarkan ekspansi atas sebagai hasil dari ekspansi Belanda di Sumatra. Setelah kemenangan di Sumatera Barat dalam Perang Paderi dengan alasan mengejar sisa-sisa kekuatan Paderi, Belanda melancarkan beberapa ekspansi yang mengancam wilayah-wilayah perbatasan Aceh. Pada tahun 1829 Belanda mencoba untuk mengambil kendali atas Barus dari Aceh tapi berhasil digagalkan. Upaya ini diulang lagi pada tahun 1834, sekali lagi ambisi Belanda ini berlalu tanpa keberhasilan. Belanda menyerang kota-kota penting perbatasan Aceh setelah sebelumnya mengkonsentrasikan kekuatan di daerah Tapanuli Tengah. Lewat politik adu dombanya yang terkenal (divide et impera) kolonial Belanda berhasil menarik kerajaan kecil Trumon dari pengaruh Aceh. Peristiwa lepasnya Trumon ini terjadi pada tahun 1830 ketika Belanda melalui Residen Belanda di Pantai Barat Sumatra berhasil mengikat kontrak kerjasama dengan Raja Trumon.
Sementara itu perang paderi yang berkecamuk di Minangkabau semakin memperkeruh permasalahan itu, kemajuan yang dialami Belanda dalam perang telah memperluas kekuasaan Belanda hingga ke Natal di Tapanuli Selatan. Pada tahun 1831 kedudukan Belanda di Air Bangis dan Natal diserang oleh kaum Paderi di daratan dan oleh rakyat Aceh (Singkil) dari laut. Serangan itu nyaris memukul mundur Belanda dari pertahanannya atas Natal.[4] Pada tahun 1833 Belanda mencoba mengukuhkan pengakuan atas perbatasan Aceh-Belanda di wilyah pantai Barat. Secara sepihak Belanda menganggap sungai Singkil menjadi garis wilayah perbatasan Aceh.
Konflik berikutnya terjadi ketika pada tahun 1836 sebuah sekunar Belanda Dolfijn ditangkap oleh Aceh. Pihak kolonial di Batavia mengirim perutusan khusus untuk mengangani masalah ini yang dipimpin oleh Ritter dan Van Loon pada tahun 1837. Temuan perutusan ini di Aceh menemukan bahwa kapal telah dibakar dan muatan serta peralatan kapal telah disita oleh Aceh.[5]
Akhir masa pemerintahan
[sunting | sunting sumber]Alauddin Muhammad Daud Syah digambarkan sebagai penguasa yang sangat tidak begitu energik. Dia sakit-sakitan, mengisap opium, dan kekuasaanya dijalankan sepenuhnya oleh pemerintah bayangan oleh wali nya.[6] Meski demikian sejarah mencatat perkembangan dan kemajuan ekonomi yang cukup baik dan stabil pada masa itu. Sebagia besar kebutuhan lada untuk pasar Eropa dan Amerika berhasil diproduksi oleh kesultanan. Pedagang-pedagang dari Inggris dan Amerika mengambil keuntungan cukup besar dari hubungan baiknya dengan kesultanan, tetapi Belanda yang akibat naik turunnya krisis dengan Aceh maupun karena ketiadaan barter ekonomi yang tepat tidak memperoleh keuntungan yang menggembirakan dari perdagangan lada di Aceh.[7]
Sultan meninggal pada tahun 1838 mewariskan kesultanan kepada putranya Tuanku Sulaiman yang masih muda. Namun kekuasaan secara defacto tetap berada dibawah lembaga perwalian yang dikuasai oleh Raja Muda Tuanku Ibrahim sampai 32 tahun berikutnya.
Referensi
[sunting | sunting sumber]Pranala luar
[sunting | sunting sumber]- Djajadiningrat, Raden Hoesein (1911) 'Critische overzicht van de in Maleische werken vervatte gegevens over de geschiedenis van het soeltanaat van Atjeh', Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 65, pp. 135–265.
- Encyclopaedie van Nederlandsch-Indië (1917), Vol. 1. 's Gravenhage & Leiden: M. Nijhoff & Brill.
- Langen, K.F.H. van (1888), De inrichting van het Atjehsche staatsbestuur onder het sultanaat. 's Gravenhage: M. Nijhoff
- Lee Kam Hing (1995) The Sultanate of Aceh: Relations with the British, 1760-1824. Kuala Lumpur: Oxford University Press.
- Veth, P.J. (1873) Atchin en zijne betrekkingen tot Nederland. Leiden: G. Kolff.
Lihat pula
[sunting | sunting sumber]Didahului oleh: Alauddin Jauhar ul-Alam Syah |
Sultan Aceh 1823—1838 |
Diteruskan oleh: Sultan Sulaiman Ali Iskandar Syah |